Sunday, December 15, 2013

Lingkaran Semu

Aku merajut siklus yang (ternyata) (sebenarnya) (baru aku sadari) membuatku menjadi bukan diriku sendiri. Sebut saja jebakan Batman part sepuluh berhadiah ilusi. Jebakan yang kubuat sendiri. Bodoh? Kurasa tidak, aku secara sadar melakukannya, namun mungkin dengan setengah hati. Mau tidak mau, aku mencoba mendengar, menyediakan waktu dan telinga. Mimpi, angan, saran, wejangan, semuanya ada. Ah, rupanya siklus itu memang istimewa dan hampir sempurna, tidak baik jika aku meninggalkannya, setidaknya itu kata mereka. Dengan segala macam pertimbangan, aku harus tetap berada disana. Zona nyaman, begitulah kira-kira.

Orang-orang itu tampak memberiku balon kebebasan, namun senyum mereka menampakkan guratan asa yang tidak boleh buyar, dan seketika itu pula keberanianku memudar. Waktu berlalu. Aku masih menjadi pendengar yang terpaku. Aku hanya tidak mau menyakiti orang-orang yang bermimpi untukku. Namun, hey, sepertinya aku bahkan melupakan mimpiku sendiri. 

Ergh... Sejak kapan realita berbaur rasa jadi ironi?
Aku mau lari.

Thursday, December 12, 2013

Galeri: Biennale XII

Mengritik, menyuarakan aspirasi, dan berekspresi melalui cara yang seksi. Mereka melakukannya dengan instalasi dan berbagai rupa karya seni. Di sini, kami diajak masuk ke setiap ruangan instalasi, disuguhi waktu dan sepi untuk berpikir sendiri, mengintepretasi. Banyak isu dilontarkan melalui ruang sunyi, perihal TKI sampai dengan mutilasi (dan masih banyak lagi). Datang, nikmati.
:-)






















----

Location: Jogja National Museum
Accompanied by: @merancia @Indryarie @heibobob & Rosa

Tuesday, November 19, 2013

Quick Runaway


Aku ingin liburan.

Keinginan untuk bisa menyapa dan merasakan sesuatu yang berbeda mendorongku untuk pergi ke sini. Jarak yang tak seberapa jauh dari tempat tinggalku di Yogyakarta menjadi satu kemudahan berarti. Aku tak mau rugi, aku sengaja menyediakan waktu untuk ke sini.

Semua yang kulihat sama seperti apa yang aku ekspektasikan pada mulanya. Mungkin sedikit buruk ketika baru pertama kali sampai. Suasana yang hampir sama seperti tempat-tempat wisata alam-keluarga lainnya sempat membersitkan pikiran buruk, wisata alam milik pemerintah yang umumnya ramai, jorok, dan tidak nyaman. Selangkah dua langkah kakiku berjalan, pikiran buruk beranjak terbang. Tidak banyak orang, hening, dan tenang. Aku senang, mengingat tujuan awalku kesini untuk mencari ketenangan. Bosan bertemu banyak orang.


Terbiasa di kehidupan yang serba cepat dan penuh dinamika, lalu dihadapkan pada fenomena besar yang seolah tampak diam. Dibalut pepohonan rindang dan pasir bekas letupan pagi hari tadi di puncaknya, Merapi terlihat tampan. Udara sejuk yang terus berhembus menambah kesenanganku. Aku tidak suka panas dan keringat, tentunya.

Aku tidak terlalu pintar di dalam menafsirkan atau memaknai sesuatu secara indah, namun aku melihat kesederhanaan, dengan apa adanya alam tetap terlihat menawan. Tidak perlu berlomba-lomba atau menjadi bukan dirinya. Melihat penjual jagung bakar atau anak kecil berumur 12 tahun tidak sekolah yang menunggui toilet umum, aku sadar bahwa standar kebahagiaan kami berbeda, pun dengan manusia lainnya. Aku banyak berkaca.

Kunjunganku kesini pun semakin menguatkan niatku untuk bisa sampai ke puncaknya. Mungkin bukan Merapi, yang sebentar lagi akan menepati janji meletus tiap empat tahun sekali. Semoga akhirnya aku mendapatkan kesempatan itu. 

Aku ingin menikmati alam lebih jauh lagi.

----

Lokasi: Ketep Pass, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Tuesday, June 25, 2013

It Doesn't Kill Me Anymore

Yogyakarta.

I was born in this city 18 years ago. But in age 5, I moved and left this city for my Daddy's duty. Jumped to Solo, Dumai, Tangerang, and Jakarta for 13 years. Finally at 18, I got my university life here.

Everything about Jogja was supposed to be fine and interesting. I loved it when my sister travelled me to some new cafe and cute resto. Or to some nice food stall with cheap price. Places were looked so good at that time. The questions "where will we go?" or "where will we eat?" was my favorite and  I would answer it with the places I wanted to go.

Went to big wooden house with its special hot poci tea and chicken feet cooked-with-soy-sauce at late night with uncles and sister, was so wonderful. The place was so homy, even tho you might look at everyone suspiciously because of the tiny petromaks lights. Or, when Jalan Kaliurang stole my big attention because there were heaps of food stall and resto there, the Metropolitan Jogja, I named it. Happened too in Jalan Palagan, where the best hotel and premium resto spreaded over there.

Whenever my sister took me out, I felt like a tourist in my hometown. Every aspects of Jogja attracted me as well.

Places were look so good, and strange.
Roads, oh, totally strange even I couldn't find my way back home if you dropped me at somewhere.
The people, my sister friends, they were just colony of strangers. I knew their names and just it.

STRANGE IS GOOD. Why good? Because I am curious to know how the whole day would run, how the new place would surprise me with its goodness (or mess), how the road would lead me to some unique spots, how the people would treat me beautifully at the first time we met. Is it good for someone to have lots of curiosity? Curiosity killed the cat, Einstein said.


Then, time passed by. I've been here for almost a year.
Then, this city became very familiar to me. The place, road, and its people. I am no more stranger in this city. I am no more tourist who doesn't know how to find way back to her guesthouse. This city is now a home to me. But not a seriously home where I, sometime, am not that comfort and safe to be inside.

There are no more my curious eyes starring interesting-ly at the left or right side of Jalan Kaliurang, trying to find good food spots. I've ever been there and there, tried the A and the B and the C. What  really exist now is just bunch of collegers and workers flooded on the road in morning & afternoon, trapped in annoying traffic jam. 

There are no more the curious me hoping for surprises on the road. The road didn't lead me to somewhere wonderful. All of wonderful places now just a dull. Also, impatient drivers overwhelmed the crowd tiny roads. So tiredful.

There are no more beautiful treats from the people. Most of them hate and talk behind each other. Even some of them still do beauty things. So the word "people come and go" does exist. The hates go, the goods stay.



I don't hate this city and its reality. I just hate my self when I don't have curiosity anymore.