Tuesday, July 22, 2014

Bunyi-bunyi Deklarasi

Kaki-kaki berselimut lumpur berbaris manis
Berderap menuju tangga kecil ke arah panggung
Irama jantung memburu senada, perlahan menjauh dari ruang kaca
Bedak dan warna-warni kimia berbungkus cantik dibiarkan merana
Dari sudut tangga lainnya, berdiri pula kerumunan berpakaian senada

Panggilan untuk mereka pun berkumandang
Hembusan nafas yang dipaksa keluar semakin berat
Dari kiri dan kanan beriringan masuk ke panggung berbatas tirai merah tua
Seiring derap kaki dari arah berlawanan datang
Bergemuruh tepuk tangan dan kicauan senang
Serta ratusan ribu mata elang yang siap menerkam tajam

Kata mereka, ini pesta
Demikian ia begitu kuat dilontarkan dimana-mana
Tapi aku lebih senang memaknainya sebagai pertunjukkan
Dimana aktor-aktornya memiliki kepentingan
Dan para penontonnya punya andil untuk ikut ambil bagian

Aku tidak punya batasan dimana aku harus ditempatkan
Tentu, aku sudah menjadi penonton yang baik dengan membuat jariku ungu
Keterbukaan dan kebebasan yang katanya dijamin ini
Memungkinkan aku untuk bisa loncat kesana kemari
Menjadi penonton, juri, atau aktor yang suka improvisasi
Atau cleaning service yang sering terlupakan di pantry

Tirai itu masih tertutup tenang, sudah lama ia berdebu dan usang
Dua kacung siap membuka dengan memencet tombolnya di ujung pelataran
Tapi, tunggu dulu...
Siapkah kita semua membuka diri terhadap pertunjukkan ini?
Yang akan dimulai tidak lama lagi

Friday, May 30, 2014

Idle-notes.




"Berhembus angin malam, mencekam..."

Alunan nada lawas mengudara, merembes melewati celah pengeras suara. Lagu lama lainnya ikut mengudara setelahnya, mengantar penumpang bernostalgia ria. Akhirnya kesampaian juga naik kereta. Sayangnya yang terlihat dari jendela tidak lain hanya pemandangan hitam pekat. Sekalipun aku memicingkan mata dan menempelkan jidatku ke jendela, lambaian pohon dan sawah yang membentang tidak serta merta menjadi hijau atau warna-warni ceria. Pasti lebih menyenangkan jika perjalanan ini terjadi di siang hari. Atau lebih spektakuler lagi ketika senja dengan matahari yang merindu mendekati garis horizonnya di langit yang kemerahan.

Ah. Mengapa lama sekali. Kereta berhenti (lagi) di antah berantah. Padahal sebelumnya kereta ini berhenti cukup lama di stasiun kecil, cukup waktu bagi pedagang asongan untuk masuk dan menyerukan dagangannya sopan. Teman di sebelahku mulai mengayunkan kepalanya sebelum mendaratkannya di pundakku perlahan. Monas belum kelihatan.

---

Kuningan Barat.

Dua laki-laki berpakaian senada bersandar di ruang sambung bus Transjakarta. Kemeja kantoran lengan panjang, celana kain, menjinjing tas laptop berwarna gelap. Genggamannya erat, sigap menghadapi lihainya tangan panjang yang merebut cepat.

Duduk di bangku prioritas, wanita paruh baya memangku beberapa tas kresek hitam. Sawi hijau dan kacang panjang menyembul dari dalam. Bergincu merah terang, bernyanyi kecil lalu terlelap. Celana hijau 3/4, sandal spons kuning, serta kutex oranye yang menandai kuku tangan dan kaki. Wow. Apakah semakin menua, selera mode seseorang akan menjadi lebih apa adanya? Seperti balita tanpa dosa yang berlari memilih sepatu crocs kuning dipadu dengan rok pink terangnya, tidak ada yang salah dari ketidakpaduan warna tersebut.

Jam makan siang sudah hampir habis. Banyak buruh berseragam mulai tergesa. Pergerakan mata terbagi dua, jarum jam tangan dan jalan. Bagi penumpang lain dan aku yang belum menerjunkan diri ke dunia sebenarnya, masa bodoh. Ini kan libur panjang.

Eh, sebenarnya aku juga sering tidak sengaja menjadi buruh. Ketika aku hanya menyediakan waktu di universitas, bukannya ide atau gagasan. Membiarkan (yang katanya) ilmuwan menerangkan di depan tanpa saling bersahutan. Yang aku kerjakan hanya satu, spesifik, dan berulang. Mungkin menyalin catatan atau terdiam dengan pikiran yang melayang menyesap teh tarik dingin di siang terik. Membiarkan ide terkungkung di sel terpintar dan tidak melepaskannya seperti serbuk bunga bermekaran yang disambut kupu-kupu girang. Jangankan diberi upah, piutang universitas saja tidak ku manfaatkan. Barangkali, selanjutnya aku harus lebih serakah?

Sementara di sebelah kiriku, wanita muda mengenakan rok selutut dan kemeja putih polos. Wajahnya cukup menarik, paling tidak, dalam posisi mata terpejam pun senyumnya masih mengambang. Ia tertidur dengan headset di telinga. Mungkin Sigur RĂłs atau Adhitia Sofyan yang sedang bernyayi di sana. Atau siapa? Aku tidak punya playlist tidur yang hebat.

Aku. Membaca halaman awal novel Pulang. Belum melewati banyak halaman. Berhenti menyelami demo mahasiswa Paris 1968 yang mempertemukan Dimas Suryo dan Vivianne Devereaux yang saling bertegur sapa karena takut kelewatan halte.

Halte Semanggi. Harap-harap cemas. Ini sekalinya aku pergi sendiri.

Naik tangga menyusuri jembatan penyebrangan yang panjang dan berliku. Beberapa orang terlihat terburu-buru dan berjalan cepat, meskipun belum melampaui khatamnya kaki-kaki Singaporean menggapai eskalator yang bergerak seribu kali lebih cepat. Bersyukur mereka tidak lari. Tahu sendiri aku paling takut berada di jembatan setinggi dan setipis ini. Dibuat dari lapisan perak yang kalau diinjak akan berbunyi. Berdoa semoga tidak ada lubang setitik pun agar aku tidak teriak.

Pikirku mengapa di Jogja belum ada jembatan sehebat ini. Atau seperti layanan Transjakarta yang cukup bisa diandalkan. Kebutan bus Transjogja sejenak melaju di pikiranku, merambah ke bagian lain yang ku benci. Ruang duduk maupun berdiri yang, astaga, sangat tidak menyenangkan. Apa sulitnya mengganti tempat duduk di bus itu dengan yang lebih ramping dan ringan, sehingga tercipta ruang yang lebih lengang. Bagaimana bisa bergerak dan berdinamika bebas tak terhalang, jika tak ada ruang? Atau setidaknya, kesempatan? Jangan salahkan jika akhirnya para perindu ruang mencari medium lain yang mungkin dapat mengganggu ketenangan jantung kotamu.

Thursday, April 10, 2014

Di Perjalanan


Di Perjalanan
kamu memiliki waktu dan ruang terbaikmu dengan buku atau lagu
(meskipun coffeeshop juga mampu, ini pengecualian buatku)
pemandangan sekitar kerap merayu
dengan satu, dua, belasan, puluhan lagu favorit
dan ketika pembatas bukumu berpindah tempat
membatasi digit nomor halaman yang bertambah besar

Di Perjalanan
kamu bisa tersesat
menjelajah tempat asing yang menyenangkan atau membosankan
menikmati rasa penasaranmu sebentar
bersyukur sekaligus berdebar
kemudian kembali menyerahkan nasib pada teknologi penunjuk jalan yang ada di smartphonemu
atau membuka jendela, bertanya kepada orang sekitar

Di Perjalanan
ada dua kesempatan, untuk:
menjadi dirimu
dengan melaju kendaraanmu secepat mungkin
tangan di atas klakson, berjaga ketika ada yang berusaha merebut ruangmu
kepentinganmu adalah yang utama
mata dan gerak kaki liar, mencari tempat duduk ternyaman
masa bodoh dengan ibu paruh baya yang berdiri bersandar di tiang
yang berusaha menjaga keseimbangan dengan belanjaan seplastik besar di tangan

atau menjadi dirimu yang satunya
yang berhenti sejenak, berbagi ruang dengan orang
memberi jalan pada kendaraan lain yang melintang
memberi sekian persen dari jumlah uang yang tersisa
pada mereka yang mengetuk jendela nuranimu
apa yang tersisa bisa menjadi segalanya
  
Di Perjalanan
kamu menyediakan telingamu bagi semua orang
baik orang terdekat atau pun orang asing yang kebetulan duduk di sebelahmu
mendengar cerita bahagia atau keluh kesah, semuanya berbaur renyah
menyadari betapa ajaibnya berbagi telinga dan waktu akan menjadi candu

Di Perjalanan
kamu berbicara sangat banyak sampai kehabisan waktu
batas-batas melonggar dan memudar
sesekali, kamu kelepasan
sekedar untuk didengar, sedikit membakar kepenatan
berharap tidak ada kata "pulang" untuk sementara
pintamu agar waktu ikut berjalan perlahan seiring laju kendaraanmu, cara yang pintar (jika aku boleh berkomentar)
atau berputar arah dan memilih jalur terjauh untuk mencapai rumah
karena kamu tau, di rumah tidak akan seperti di perjalanan
dan tidak ada obrolan maya yang mampu menggantikan

Bagaimana kamu memilih perjalananmu?

//

Holiday is over, people. I spent my holiday in Jakarta and cancelled my plans to go to Lombok due to several things. We all create beautiful plans, but nature and our Almighty would do the rest. Regarding to my last post, I wanted to go to some certain places I mentioned. Guess what? I went there. Cheers for that. Flâneur, I highlighted my mood into these words: di perjalanan.