Friday, May 30, 2014

Idle-notes.




"Berhembus angin malam, mencekam..."

Alunan nada lawas mengudara, merembes melewati celah pengeras suara. Lagu lama lainnya ikut mengudara setelahnya, mengantar penumpang bernostalgia ria. Akhirnya kesampaian juga naik kereta. Sayangnya yang terlihat dari jendela tidak lain hanya pemandangan hitam pekat. Sekalipun aku memicingkan mata dan menempelkan jidatku ke jendela, lambaian pohon dan sawah yang membentang tidak serta merta menjadi hijau atau warna-warni ceria. Pasti lebih menyenangkan jika perjalanan ini terjadi di siang hari. Atau lebih spektakuler lagi ketika senja dengan matahari yang merindu mendekati garis horizonnya di langit yang kemerahan.

Ah. Mengapa lama sekali. Kereta berhenti (lagi) di antah berantah. Padahal sebelumnya kereta ini berhenti cukup lama di stasiun kecil, cukup waktu bagi pedagang asongan untuk masuk dan menyerukan dagangannya sopan. Teman di sebelahku mulai mengayunkan kepalanya sebelum mendaratkannya di pundakku perlahan. Monas belum kelihatan.

---

Kuningan Barat.

Dua laki-laki berpakaian senada bersandar di ruang sambung bus Transjakarta. Kemeja kantoran lengan panjang, celana kain, menjinjing tas laptop berwarna gelap. Genggamannya erat, sigap menghadapi lihainya tangan panjang yang merebut cepat.

Duduk di bangku prioritas, wanita paruh baya memangku beberapa tas kresek hitam. Sawi hijau dan kacang panjang menyembul dari dalam. Bergincu merah terang, bernyanyi kecil lalu terlelap. Celana hijau 3/4, sandal spons kuning, serta kutex oranye yang menandai kuku tangan dan kaki. Wow. Apakah semakin menua, selera mode seseorang akan menjadi lebih apa adanya? Seperti balita tanpa dosa yang berlari memilih sepatu crocs kuning dipadu dengan rok pink terangnya, tidak ada yang salah dari ketidakpaduan warna tersebut.

Jam makan siang sudah hampir habis. Banyak buruh berseragam mulai tergesa. Pergerakan mata terbagi dua, jarum jam tangan dan jalan. Bagi penumpang lain dan aku yang belum menerjunkan diri ke dunia sebenarnya, masa bodoh. Ini kan libur panjang.

Eh, sebenarnya aku juga sering tidak sengaja menjadi buruh. Ketika aku hanya menyediakan waktu di universitas, bukannya ide atau gagasan. Membiarkan (yang katanya) ilmuwan menerangkan di depan tanpa saling bersahutan. Yang aku kerjakan hanya satu, spesifik, dan berulang. Mungkin menyalin catatan atau terdiam dengan pikiran yang melayang menyesap teh tarik dingin di siang terik. Membiarkan ide terkungkung di sel terpintar dan tidak melepaskannya seperti serbuk bunga bermekaran yang disambut kupu-kupu girang. Jangankan diberi upah, piutang universitas saja tidak ku manfaatkan. Barangkali, selanjutnya aku harus lebih serakah?

Sementara di sebelah kiriku, wanita muda mengenakan rok selutut dan kemeja putih polos. Wajahnya cukup menarik, paling tidak, dalam posisi mata terpejam pun senyumnya masih mengambang. Ia tertidur dengan headset di telinga. Mungkin Sigur Rós atau Adhitia Sofyan yang sedang bernyayi di sana. Atau siapa? Aku tidak punya playlist tidur yang hebat.

Aku. Membaca halaman awal novel Pulang. Belum melewati banyak halaman. Berhenti menyelami demo mahasiswa Paris 1968 yang mempertemukan Dimas Suryo dan Vivianne Devereaux yang saling bertegur sapa karena takut kelewatan halte.

Halte Semanggi. Harap-harap cemas. Ini sekalinya aku pergi sendiri.

Naik tangga menyusuri jembatan penyebrangan yang panjang dan berliku. Beberapa orang terlihat terburu-buru dan berjalan cepat, meskipun belum melampaui khatamnya kaki-kaki Singaporean menggapai eskalator yang bergerak seribu kali lebih cepat. Bersyukur mereka tidak lari. Tahu sendiri aku paling takut berada di jembatan setinggi dan setipis ini. Dibuat dari lapisan perak yang kalau diinjak akan berbunyi. Berdoa semoga tidak ada lubang setitik pun agar aku tidak teriak.

Pikirku mengapa di Jogja belum ada jembatan sehebat ini. Atau seperti layanan Transjakarta yang cukup bisa diandalkan. Kebutan bus Transjogja sejenak melaju di pikiranku, merambah ke bagian lain yang ku benci. Ruang duduk maupun berdiri yang, astaga, sangat tidak menyenangkan. Apa sulitnya mengganti tempat duduk di bus itu dengan yang lebih ramping dan ringan, sehingga tercipta ruang yang lebih lengang. Bagaimana bisa bergerak dan berdinamika bebas tak terhalang, jika tak ada ruang? Atau setidaknya, kesempatan? Jangan salahkan jika akhirnya para perindu ruang mencari medium lain yang mungkin dapat mengganggu ketenangan jantung kotamu.