Sunday, April 12, 2015

Tarian Agnia

Ruang pertunjukan itu berdinding tebal, ciri khas bangunan peninggalan Belanda yang kalau diguyur banjir bandang pun tak akan tumbang. Di dalamnya, kursi-kursi permanen menempatinya dengan setia bersamaan dengan debu halus yang menghinggapi punggungnya. Ruang itu terbuka lebar bagi siapa saja yang menginginkan kebebasan dan keindahan. Tari-tarian, dentingan harpa, dan berbagai sandiwara pernah terjadi di panggung laga. Lautan penonton pernah menduduki kursi-kursinya yang berdebu halus. Ribuan percakapan intens pernah terjadi sebelum pertunjukan dimulai. Gumpalan imajinasi dan intepretasi pernah mengudara disana, memanjakan siapa saja yang merindukannya.

Rabu pagi, ruangan yang luas dan gelap itu digenangi sunyi. Puncak kegiatan biasanya ada di hari sabtu dan minggu. Sisanya, ruangan itu lebih sering digunakan secara bebas oleh siapa saja yang ingin sekedar berlatih atau duduk menyendiri. Memecah hening, Agnia masuk dengan gemulai. Ditemani gadis kecil bernama Kirana yang selalu menjadi penonton setianya, buah hatinya. Dengan perlahan mereka menuruni tangga berlapis karpet merah, melentikkan tangan di setiap kursi yang dilewati, memoles debu pada ujung jari.

Hari ini, Agnia siap menari. Kirana berlari mencari tempat duduk ternyaman untuk menyaksikan ibunya berlaga seorang diri. Agnia naik ke atas panggung, meletakkan tas rajut merah marunnya di pinggir dan bersiap di tengah. Tidak sampai hitungan kelima, ia mulai menari, berputar ke kanan dan kiri. Tubuhnya meliuk indah bersamaan dengan gerakan tangan dan kaki tanpa pakem atau perhitungan berarti. Tidak ada lagu yang mengiringi, karena ia lebih suka ditemani dengan sunyi. Dibiarkannya irama itu datang dari hati. Di tengah tariannya, ia mulai bermain dengan ingatannya lima tahun yang lalu, di tempat yang sama ia menari.

Lima tahun yang lalu. Masih sadar ia akan gemuruh tepuk tangan yang ditujukan padanya. Masih menyala pula bara api di jiwanya. Rupanya kenangan akan selalu tertancap disana. Menyeruak bebas dimana saja, terutama jika seseorang kembali ke tempat dimana ia biasa melakukannya. Agnia akan terus mengingat pertunjukan tarinya ketika ia berada di rumah, pasar, kereta, dimana saja. Apalagi di panggung itu.

Di panggung itu, lima tahun yang lalu, Agnia dan Tari menari bersama. Pertunjukan demi pertunjukan dilewati bersama dengan Tari. Berdua saja mereka berlaga, karena pemilik sanggar pun percaya bahwa mereka berdua adalah yang terbaik di antara semua. Gerakan tari yang indah dan gemulai, siap memanjakan siapa saja yang melihatnya. Agnia berarti api, dan ia tahu benar hal itu. Ia memperlakukan dirinya sama seperti api. Makin senang ia ketika disulut ribuan energi, menjadikan baranya semakin merah dan menyala. Tidak ada yang bisa memadamkan gairahnya untuk berlaga, menari tanpa henti. Ia sadar bahwa menari adalah satu-satunya media yang dapat membuat dirinya menjadi Agnia yang sepenuhnya.

Ketika mereka menari, tidak ada satu pun kedipan mata penonton yang rela dilepaskan. Semua akan terfokus melihat keindahan yang berada di hadapannya. Tarian yang indah tidak hanya tercipta dari kelihaian sendiri, tapi tercipta pula dari interaksi dan penyatuan energi. Interaksi senyuman dan tatapan penonton yang berbinar menyulut semangat Agnia dan Tari dengan pesat. Tarian mereka berhasil menyatukan frekuensi emosi dan rasa antara penari dan penonton. Penonton akan merasakan apa yang dirasakan oleh penari, begitu pula sebaliknya. Tak dibiarkannya satu gerakan pun luput dari irama keindahan yang diputar. Menari berdua dengan Tari, membuat energinya terbumbung penuh, menyatu dan terikat pekat. Saat itu, Agnia menyebut dirinya penari. Disitulah terjadi penyatuan jiwanya menjadi utuh, menjadi seorang penari.

Tarian itu juga berhasil menumbuhkan benih yang dianggap berbeda. Benih itu tumbuh sempurna. Namun sayang, tidak ada manusia yang mengizinkan benih itu tumbuh dan berbunga di kebunnya. Seberapa indah bunga itu tumbuh, seberapa sering matahari dan semesta mengizinkannya untuk berfotosintesis ria, manusia tetap tidak mau mengakui keindahannya. Keindahan itu dianggap aneh dan dapat merusak tatanan kebun yang simetris. Agnia dan Tari tidak akan bersatu lagi di panggung tari. Benih itu dipaksa untuk mati, diguyur hujan asam berhari-hari.

Agnia terus menari, meskipun kini ia menari sendiri tanpa Tari. Jika manusia sering menyebutnya sebagai pelarian tuntutan yang mengekang, Agnia lebih suka memaknainya sebagai proses memanusiakan. Menjadi manusia dengan melakukan sesuatu yang ia suka di tengah genting persilangan antara realita dan imajinasinya. Imajinasinya ingin membentuk dirinya sebagai jiwa yang bebas tanpa ikatan. Menjadi Agnia yang hidup dengan seratus persen kemauan yang datang dari diri, mengejar apa yang disebutnya sebagai cita dan cinta murni tanpa intervensi orang lain. Agnia ingin terus menari dan menyatu dengan Tari, sambil berteman dengan waktu yang memberi mereka ruang. Namun realita dengan teguh menentang dunia imajinya. Harapan dan wejangan terus menghimpit Agnia, menghantarkannya sampai ke proses pernikahan. Pernikahan (yang dianggap) sempurna dengan Devara. Pernikahan yang dikaruniai gadis kecil bernama Kirana, alasan satu-satunya mengapa Agnia harus bertahan disana.

Hari ini, Agnia menari sendiri. Tanpa seseorang yang menari bersamanya, tanpa Tari. Tanpa sorotan mata penonton yang menyemangatinya, hanya disaksikan sorotan mata dari buah hatinya yang tulus penuh cinta. Tawa dan tangis meledak bersama. Ia merindukan Tari, namun ia juga memiliki Kirana. Maka Agnia menari, tarian merupakan satu-satunya jalan dimana ia bisa merasakan kepenuhan jiwanya meskipun sekarang tarian itu terasa semu. Ia kegirangan sekaligus kesakitan. Minggu depan aku akan datang lagi, ujarnya dalam hati.

Agnia mencintai Tari, dan tari-tarian.
Ia akan terus menari, meski ia tahu bahwa Tari tidak akan menari lagi.

No comments:

Post a Comment