Thursday, December 22, 2016

Selamat Hari Ibu, Ibu

hari ini aku mengucapkan selamat hari ibu
untuk ibuku
dibalasnya penuh senang
kemudian ia bercerita tentang perjumpaannya dengan presiden
meskipun ia belum sempat mandi pagi tadi

selamat hari ibu, ibu
semoga tidak marah ketika kupanggil gendut
ketika belum kuajari cara mengetik di laptopku
ketika belum ada rencana memberimu cucu dalam kepala duaku
(meskipun aku tahu, kita sama-sama selalu ingin menculik anak kecil lucu)

selamat hari ibu, ibu
aku mau memberi tahu:  perjalananku masih panjang
(kalau umurku juga panjang)
aku masih mau berjalan,
berlari,
naik gunung,
pergi jauh,
menyelam bersama paus,
sedalam-dalamnya,
setinggi-tingginya,
sejauh-jauhnya,
pokoknya…………………………………………………………………………………panjang!

tapi,
aku selalu mau berpulang
pada ibu

Friday, October 21, 2016

Pagi Buta, Ia Menceritakan Dirinya

asap mengepul dari mulutnya yang terus menerus menceritakan isi benaknya

ia tersadar, apa dan siapa yang ada di depannya adalah yang pernah ia tuliskan melalui pesan tak tersampaikan

dan semenjak itu, tidak lama lagi, ia akan meninggalkan ruang yang sarat makna

inginnya: demi kebaikan dan pencapaian

selarut itukah kecintaannya pada kebebasan yang tertinggal di belakang

untuk kemudian dinikmati dalam waktu yang sisa sejengkal



---
Yogyakarta, 22 Oktober 2016
02:23 

Wednesday, August 17, 2016

Tetanggaku Masih Dijajah

tetanggaku pasang bendera,
tapi mereka belum merdeka
diletakannya curiga pada bibir jendela
yang terbuka
sengaja dibuka, menguntit
pelancong yang mampir lima menit
menghabiskan kue kering sisa hari raya

tetanggaku ikut bertirakat,
tapi mereka belum merdeka
pernah sekali menebar angket
memohon suara
satu nada dari penghuninya
yang aku tidak ingin bernada sama
kutandai dengan spidol merah muda,
melumatkannya ke lubang tinja

tetanggaku pada kerja,
tapi mereka belum merdeka
selama lidahnya melulu bikin cibiran
dan keinginan untuk bahagia di bayangan yang diciptakan
yang muncul dari buku undang-undang bertetangga bersampulkan
norma
dan adat keluarga(nya)

baiknya urusi dapur sendiri
nasi belum tanak sudah
inginkan bubur ayam sebelah

alangkah mirisnya,
bertetangga
dengan yang pasang bendera tapi
belum merdeka



Yogyakarta,
17 August 2016
22:43

Monday, July 25, 2016

Hujan Kebaikan, Novena




Saya mungkin bukan seorang relijius yang bisa anda dapati sedang berlaku baik dan tulus dimanapun saya berada. Saya juga bukan manusia yang dikandung tanpa noda dan cela. Kali ini saya hanya akan berbagi kebaikan yang saya peroleh dari hasil berdoa. Ya. Novena Tiga Salam Maria adalah doa yang didaraskan oleh umat Katolik sebagai devosi khusus kepada Bunda Maria. Doa ini dilakukan selama 9 hari berturut-turut pada jam yang sama (namun seringkali saya juga sering telat atau melakukannya pada jam yang berbeda).


Dengan percaya, saya meminta. Saya berterima kasih. Saya mengadu. Saya bercerita. Saya berkeluh kesah. Saya mengungkapkan apapun yang berada di dalam isi hati saya. Terkadang saya melakukannya sembari terjaga, setengah tertidur, melalui layar di depan mata, berkata tanpa suara, dan lainnya.


Kabar baiknya: saya mendapatkan hal baik di hari ke 9 saya berdoa. Sudah berkali-kali saya memperolehnya melalui cara dan jalan yang tidak terduga. Ups... Padahal saya hanya seorang manusia yang notabene juga pendosa.


Oh ya, saya rasa, kebaikan ini juga berasal dari doa yang bermuara di mulut-mulut kecil manusia yang mudah terlupakan. Padahal, senyum dan doa mereka bisa saja adalah kata-kata yang paling ingin didengar oleh sang kuasa. Atau, bisa juga dari burung gereja dan kucing jalanan yang suka menyelinap di antara kaki kita sewaktu makan di pinggir jalan.


Tenang, saya tidak meminta anda untuk percaya dengan saya. Saya tidak meminta anda untuk mengimani apa yang saya percaya. Saya hanya ingin menyebarkan kabar baik ini sebagai salah satu bentuk bersyukur. Karena (mungkin) (bisa jadi) berbagi kabar baik lebih menyenangkan dibanding berbagi kabar buruk mengenai kehidupan orang lain.


Do believe in who you believe, in what you believe, in how you do your beliefs. Karena pada dasarnya, semua berujung pada yang satu.


Selamat merayakan kehidupan.



Yogyakarta, 25 Juli 2016

Saturday, July 16, 2016

Alpha

Kali ini aku mencoba berdamai dengan gunungan kecamuk yang bergelayut di derai tawa tumpukan orang-orang yang mengular di festival. Mereka beramai-ramai ingin memainkan perspektif dan menancapkan ego pemaknaan masing-masing pada film yang menuai hingar bingar. Harusnya. Entah juga jika hanya ingin selewat untuk kemudian pulang dan tidur malam.

Aku justru terpaku pada awalan yang membuat denyutku bertalu dan tangis pecah, Ave Maria di sela-sela kaki anak laki-laki memainkan petasan. Ah Maria... Dan alunannya seriosa. 

Dari keramaian itu sunyi mengetuk pintu. Berkali-kali ia mencumbu keyakinan semu. Tentang bagian-bagian yang terserak berantakan di berbagai dimensi waktu. Sesaat rindu, tapi lebih sering kelu. Atau mati rasa, rupanya.

Oh malang... Berapa hati yang sudah kubuang. Berapa sedu sedan yang kuanggap hilang. Tentang hujan dan berapa pesananku yang tidak pernah sama dari waktu ke waktu. Tidak tahu. Tak pernah mau tahu.

Lagipula, aku tidak pernah menulis untuk atau tentangmu.

Thursday, June 23, 2016

Memahami Bhanurasmi

Namanya Bhanurasmi. Orang tuanya percaya bahwa ia adalah matahari. Matahari yang kerap membuat pendaki gunung berteriak lepas ketika berhasil menemukannya di garis tepi. Matahari yang membiarkan dirinya menjadi satu-satunya primadona cahaya di siang hari.

B
h
a
n
u
r
a
s
m
i
tidak perlu dicari,
tidak perlu diberi bongkahan janji,
tidak perlu dimanja bak putri,
tidak perlu dirahasiakan kebodohannya yang murni.

Ketika kamu berhasil menemukannya, mengucapkan janji-janji, memperlakukannya bak permaisuri, dan menyembunyikan kebodohan-kebodohannya yang lepas. Jangan harap ia mampu memelukmu dalam hangat yang diserapnya dari bumi. Bhanurasmi mampu berdiri tanpa perlu kau cari, ia piawai memainkan nada bahagia maupun satir tanpa sorak dari sana-sini.

Jadilah yang bebas dan membebaskan,



pesannya.

Saturday, March 26, 2016

Menyatukan Serpihan

Puisi-puisi malamku kerap berkawan dengan bisingnya isi otakku. Ia tumpah. Warnanya merah, sunyi, suka, sesal, cinta, amarah. Kali ini, ia harus berdamai dengan serpihan ingatanku yang berserakan di parfum mobil, tempat tidur, udara malam yang membuat paru-parumu busuk, pintu rumah, gelas kaca, dan anak tangga.

Kebisingan itu menempel di ragaku, sekali waktu. Aku menemukan diriku di tengah orang-orang yang terkadang suka mencari-cari perkara di muasal yang fana. Mereka gemar berteriak dan berkata banyak. Semua orang merayakan kehebatannya dan menyombongkan hasil yang telah diusahakannya dalam setahun atau semalam. Jejak mereka tertinggal di bayang-bayang yang berhasil diamankan.

Entah, ketika ragaku berkawan dengan kebisingan yang semula aku cemaskan. Jiwaku berteduh di lampu temaram. Waktu itu gelap, yang kulihat hanya seberkas kesanggupan dan kesabaran. Dan aku terjerembab.


Catatan:
Kalau kamu tidak mengerti apa maksudku, pahamilah menurut perspektifmu sendiri. Aku tidak hadir untuk menuliskan penggambaran gamblang. Aku menulis ini untuk mengungkapkan ingatan, yang terkadang hanya butuh waktu luang dan sedikit nafas yang tidak memburu. Suatu saat ketika kamu membaca ingatanku, bisa jadi aku sudah hanyut bersama kelu.

Wednesday, January 6, 2016

Menjelma Geragih

apalah
tanpa pengetahuanmu

apalah
tanpa pengetahuanku

apalah
tanpa buku-buku yang mengantar kita
pada percakapan sore itu

(saat senja sedang terpuruk-puruknya,
mungkin matahari enggan legawa,
dan malam tidak mau berdamai dengan perantara)

sama-sama kecil
sama-sama tersingkir
sama-sama menepi

menanggalkan semua yang berbau
hingar bingar ruang dan orang,
dungu, sepi, dan semu

berharap dipagut kebaruan
mungkin,
dengan sedikit menukar angan
dan titik-titik yang menggelam