Monday, December 18, 2017

Bali in Less Than 48 Hours: Seminyak Café Hopping

It was a hot weekday afternoon in undeniably crowded and sunny city Surabaya. There were 2 long-hairy women sitting down in everyone’s coffee shop, doing their routines over laptop, chit chats, and coffee. Latte was their favorito (sometimes sugar rushy Caramel Macchiato, or just tea on their poopy mood).

Surabaya was neither their hometown nor familiar places they ever lived in. You know, living outside your comfort zone urges you to adapt well. And if that doesn’t work, all you need is quick runaway. Quick escape from the city. Quick escape from routines which consume your productive weekdays and 4 hours on Saturday.

It happened when one of them popped up a sexy idea, “How about going to Bali?”.


Monday, October 9, 2017

CA 977

duduk di pinggir gang pesawat selama tujuh jam yang membawaku kembali ke jakarta ke tempat orang-orang bangun pagi untuk pulang petang memintal apa saja alasannya asa yang terus mengudara sementara aku bingung apakah aku bisa terus membaca sekarang karena di luar sudah petang aku malas menyalakan lampu karena aku harus berdiri sebentar orang asing di sebelahku puas memandangi jendela pesawat menikmati senja yang tadi lewat ketika aku tertidur pulas menunduk-nunduk dibangunkan pramugari bercepol rendah menawarkan nona mau wine merah orange juice teh air putih pepsi coca cola bodohnya aku meminta wine merah padahal aku tahu umurnya tak pernah lebih dari setahun menyebarkan rasa sepat memenuhi rongga bibir namun tak apa aku butuh penghangat untuk melanjutkan dengkur ketika si cepol rendah kembali ke sisiku "you should turn your mobile phone off, flight mode can not use, flight mode can not use" akhirnya tulisan selesai sampai disini
.
.
.
.
.
jakarta 3 jam lagi

Thursday, May 11, 2017

2017

Oh, halo.

Rupanya di tahun 2017 ini aku belum menambahkan satu tulisan pun disini. Jadi kuputuskan untuk menceritakan apa yang sudah terjadi dengan diriku sejauh ini, meskipun dengan alurnya yang kacau, lini masa yang tidak linear, dan kejadian yang saling tumpang tindih.

Aku meninggalkan Jogja dengan menggenggam gelar sarjana dan pekerjaan di tangan. Mimpiku untuk bisa mengosongkan diri dengan menjelajah tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi setelah lulus kuliah ternyata belum berhasil. Aku keburu diikat perjanjian kerja sebelum wisuda. Memasuki dunia kerja, mungkin aku menjadi salah satu dari kamu yang sesekali mengeluh tentang pekerjaanmu (wajar kan?). Namun pada akhirnya menyadari bahwa tempat dimana aku bekerja sekarang masih menjadi yang terbaik bagiku (sampai saat ini). Paling tidak, inilah jawaban atas doaku melalui untaian yang kupanjatkan selama 9 hari berturut-turut. (Iya, Novena. Aku hina tapi kadang masih suka berdoa). Lagipula, aku merasa masih harus banyak belajar disini. Perjalananku masih panjang.

Aku kembali ke Jakarta, berkumpul kembali dengan kedua orang tuaku dan menghabiskan sabtu-mingguku dengan mereka. Kegiatannya selalu sama. Sabtu adalah waktu untuk bangun siang. Terkadang kami bisa seharian berada di rumah bermalas-malasan kalau aku tidak ada janji pergi dengan teman-temanku. Minggu, hari yang tidak bisa diganggu gugat. Kami harus ke gereja pagi, kemudian makan, kontrol dokter kulit, dan belanja mingguan. Mengikuti misa di gereja Katolik mana saja (toh liturgisnya sama). Aktivitas setelah gereja biasanya kami lakukan di mall favorit kami di daerah Jakarta Utara. Membeli makanan yang itu-itu saja, biasanya sushi, soto, atau masakan Manado. Membeli krim wajah dan vitamin rambut yang itu-itu saja di Erha. Belanja mingguan dengan komposisi belanjaan yang itu-itu saja: sereal, lemon, daun ginseng, susu rendah lemak, brokoli, granola, wortel, tomat, yogurt, plum, selada.

Aku kembali bersama dengan orang yang sama. Kebetulan kami dipertemukan di satu siang yang panas, di kota yang juga gersang serta dipenuhi bangunan tua dan rel kereta di pinggiran trotoar jalan utamanya. Hari itu diawali dengan penuh keputusasaan. Kemudian kami duduk di kedai kopi, diselimuti pendingin ruangan yang membantu kami meluruhkan keringat dan kekakuan yang tinggi. Masih dengan “aku ingin tahu kabar terbarumu” yang rapih disimpan di kepala masing-masing. Sadar akan waktu berlalu yang ternyata tidak mampu menghanyutkan ragu, akhirnya kami bersama, berharap sejalan dengan semesta.

Ketiga paragraf di atas selalu didahului dengan “aku”, karena ini memang cerita mengenai diriku.


---
Surabaya, 12 Mei 2017