Sunday, April 15, 2018

Human, After All

Pagi-pagi, dibuat marah dengan anak umur sebelas tahun yang bertingkah seperti umur tiga tahun. Begitu aku datang, ia langsung berteriak dan menghampiriku, menyeruak, ribut memperkenalkan dirinya sendiri. Menyebut namanya berulang kali, “Josephine, Josephine”. Kemudian ia duduk di lantai, bergumam sendirian, lalu bercerita lagi meski sepotong-sepotong dan amburadul. “Mama. Mama. Mama datang. Joshua, adik kecil. Mama masih tua. Kurus.” 

Penuh distraksi, ia berlari ke halaman lagi. Menyadari posisiku yang tidak berpindah, ia datang lagi dan menyalamiku, “Aku Josephine.” Ya. Aku sangat ingat namamu, terakhir kamu menyebutkannya 3 menit yang lalu. “Mama datang supir. Mobil itu. Supir.”

Ingatanmu terhenti pada saat itu. Saat mamamu mengantarmu ke tempat ini. Saat mamamu akhirnya pergi diiringi supir dan adikmu. Sungguh, aku ingin marah. Marah kepada apapun yang membuat pikiranmu terhenti dan terhanyut hanya pada momen itu. Kudengar, setiap hari kamu berharap mamamu akan datang menjemputmu. Kalau bisa, aku ingin berdiam sejenak di tempat ini untuk meniup dan mengeringkan lukamu.

Memasuki tempat itu lebih dalam, aku mendekat ke satu anak berbaju merah. Dia asik leyeh-leyeh meskipun sudah berulang kali disuruh duduk. Kalau kata orang Jawa, ndhablek. Dia bersama adik laki-lakinya di tempat ini, sementara mamanya yang juga seorang dokter memilih untuk tinggal di rumahnya yang hangat bersama adik perempuannya yang masih kecil. Aku tidak mau menghakimi siapa pun. Setiap manusia pasti memiliki pilihan (dan pilihan yang diambil tentu yang paling menguntungkan dirinya). Dia tidak bisa menyebutkan namanya, sehingga aku harus mendapatkan penjelasan mengenai dirinya dari suster yang ada di sebelahnya. Jonathan, pintar berbahasa Inggris jika bicara sendiri, suka Disney Tayo, dan harus dibawa sejauh mungkin dari gadget. Benar saja, ketika aku mengeluarkan milikku untuk membuat foto kelinci bersama anak lain, dia mendatangiku, “Tayo, Tayo”.

“Why do you like Tayo? Is it funny? Is it good?”
“I want Tayo.”
“Why Tayo?”
“Tayo, Tayo.”
“Well, no Tayo for today. Let’s sing. Look, this uncle brings guitar.”

Lalu Jonathan melenguh dan memainkan tangannya sejenak di atas gitar, tidak beraturan. Aku benci dan berprasangka buruk: inikah saat pertama kalimu memegang gitar? Tidak adakah yang pernah memberimu kesempatan untuk mengenal benda-benda dan alam yang ada di sekelilingmu? Belum puaskah kamu menikmati masa petualangan emasmu? Oh iya, kamu selalu mau Tayo. Kamu tidak ingin yang lain. Tayo. Tayo.

Aku  bingung, mencoba menerka. Tempat macam apa ini? Banyak sekali luka berceceran dimana-mana, menyeruak melalui lengkingan suara dan gerak gerik yang aneh. Aku ingin menghujani tempat ini dengan siraman alkohol, kemudian mengeringkannya dengan desiran angin sejuk. Memastikan agar luka yang basah bisa segera mengering. Tapi, siapakah aku? Kalian tidak merasa terluka, tapi luka itu ada disana! Aku bisa melihatnya, tetesan luka basah itu mengalir dan menyerap ke pori-pori kulitku. 

Sekembalinya dari tempat itu, jalanan diselimuti awan hitam, kemudian hujan. Sial! Kapan mau mengering kalau begini terus caranya? Mobilku pun jadi semakin kotor (dan hari ini aku tidak meluangkan waktu untuk cuci mobil sendiri. Aku sudah terlalu lelah dan mengantuk, ditambah dengan resapan luka tadi yang masih membekas di pori-pori). Aku pulang dengan perasaan tidak karuan. 


Ah...
Lagi-lagi perkara manusia.

Perkara manusia yang beragam, beban yang menghimpit, ucap syukur yang membludak, semuanya diserukan dalam diam. Orang-orang membungkam mulutnya, namun hatinya berbicara lantang. Sorotan mata mereka seolah ingin menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan simpan dalam-dalam.

Aku berlutut di pojok, memastikan aku tidak terkena sorot lampu remang-remang atau lilin yang menyala berjejer. Aku tidak mengucap apa-apa. Aku tidak merangkai kata, benakku menusuk lebih tajam. Tiba-tiba, terasa ada aliran hangat yang melewati kedua pipiku. Jatuh. Terus berjatuhan. Semakin deras dan banyak. Sialan. Untung aku membawa tissue di tasku. 

Aku membuka mata sejenak, mendongakkan kepalaku, melihat ke patung Ibu yang sedang menggendong anak dewasanya di pangkuan. Banyak orang yang berdiri di dekatnya. Ada satu dari mereka yang memegang kaki anak itu sambil berusaha memejamkan mata lebih keras. Mulutnya mengucapkan barisan kalimat yang tidak mampu aku dengar.

Sungguh, tempat ini membingungkan. Aku datang untuk mencari ketenangan, tapi justru yang aku temui adalah diriku sendiri dan borok-borok di dalamnya yang menjijikkan.

(Lagi-lagi perkara manusia...)


Mungkin teh tarik panas dan cinnamon roll berlapis cokelat almond bisa menjadi jawaban, hari ini aku makan sedikit sekali. Sudut tersembunyi di Setiabudi ini selalu jadi penyelamat ketika aku tidak begitu mengenali diriku sendiri (atau justru kebalikannya? Dimana aku sungguh mengenali dan menyadari bahwa aku sedang tidak mampu mengatasi diri sendiri). Aku malu. Aku tidak ingin memanggil bala bantuan. Lagipula, aku ragu, apakah manusia bisa benar-benar membantu satu sama lain? Sementara pasti ada beberapa lubang di diri mereka yang belum selesai dikubur. 

Kubuka buku tepat di bagian yang sudah kuselipkan pembatas, cerita Laut belum tandas kubaca.

No comments:

Post a Comment