Monday, June 18, 2018

Aku Tidak Pernah Menulis Untukmu


Membuka, menyisir satu persatu siapa yang usai membaca barisan kalimat yang kutata. Dengan bodohnya, aku selalu berharap kamu membaca di detik aku menanggalkan isi pikiranku dengan tinta yang mengotori ujung jariku. Memang, bukan tulisan untukmu atau tentangmu, tapi aku selalu berharap: kamu membacanya.

Aku tidak pernah menulis untukmu, sebagaimana kamu tidak pernah menyelami kemurnian yang ada di tiap-tiap ciptaan. Sebagaimana pertanyaan-pertanyaanku yang akan terus mengambang, tentang manisnya isi bumi namun dengan manusia-manusia getir yang tidak pula membangunkan dirimu. Memang, terkadang kita perlu mengubur diri sendiri dalam-dalam, mengunyah kekhawatiran kita sendiri, perlahan. Oh, aku bahkan tidak pernah mengenalimu ketika kita sedang berbicara.

Aku tidak pernah menulis untukmu, sebagaimana kamu mencoba mematahkan keyakinan yang tidak kamu yakini. Kebenaranmu selalu menjadi subjektivitas mutlak yang kamu terapkan pada hal apapun. Manusia-manusia dengan beban peluh di punggung mereka yang masing-masing berbeda tidak juga mematahkan tingginya kebenaranmu, megahnya nilai-nilai maha segalamu. Kamu tidak pernah mempelajari relativitas pilihan-pilihan yang aku nikmati sebagai bagian dari perayaan hidup, kamu bahkan meludahinya. Aku masih menyimpan ludah itu di ujung sepatuku. Ia tidak juga mengering setelah sekian waktu.

Aku tidak pernah menulis untukmu, sebagaimana kamu tidak pernah memainkan dentingan piano paling jujur untuk dirimu (apalagi untukku). Nada-nada dan nafas tidak pernah memburumu untuk berbuat sesuatu. Entah, mungkin sekian persen darahmu sudah membatu. Sampai akhirnya tidak pernah ada ingatan akan kita yang membaca nada bersama, dengan aku yang menjadi diriku dan kamu yang menjadi dirimu. Tidak pernah ada.

Setelah sekian perjalanan melelahkan, aku berani menyimpulkan: usaha memberikan batasan ketika puncak keinginan sudah berada di tangan.

Tangan-tangan yang pernah menggamit lengan.

Kulihat, tangan-tangan itu penuh.

(dan tanganku kosong)

Monday, June 4, 2018

Diana Kelana: Beijing

Siapa Diana?
Diana adalah teman kecilku. Ia ringan dan berwarna biru. Diana memiliki kembaran yang jumlahnya banyak sekali dan tersebar di seluruh dunia. Aku senang bagaimana Lomo memberi nama yang sangat personal: Diana. Aku tidak ingin memberi tambahan nama depan atau belakang, cukup Diana saja, dan dia sudah spesial untukku. Bagaimana tidak, aku sudah menginginkan kamera ini sejak aku masih duduk di bangku SMP. Hmm... Kira-kira tahun 2009. Pada saat itu, Lomo memang sedang naik daun dengan kemunculan berbagai kamera plastik lainnya. Sampai akhirnya aku memilikinya sekarang, bermodalkan satu hal yang sangat sering Raras lakukan: impulsivitas!

Diana ini imut sekali, ia muat dalam genggaman dan tidak memberatkan leher ketika dikalungkan. Suka menemaniku bepergian dan sering mendapatkan banyak komentar salah alamat berupa, "Wah, kalungnya bagus ya!". Yap, begitulah Diana. Mungil dan penuh kejutan.

Aku dan Diana. Difoto oleh @rosawinenggar menggunakan kamera Kodak analognya.

Perjalanan Pertama Diana
Kali ini, aku akan menceritakan perjalanan pertamaku dengan Diana.
Sebelum dibawa bepergian ke Beijing, Diana terlebih dahulu menyusuri jalanan Jakarta.

Jakarta dan isi-isi harapannya yang saling bersinggungan, berhimpitan

Kuningan-Kasablanka di saat lengang

Beijing Capital International Airport
Wah, ternyata Diana membutuhkan lebih banyak cahaya.

Selamat datang di Beijing!

Diana lebih melirik iklan Vivo dibandingkan aku yang sudah lepek mendorong gunungan koper

Keduanya sedang membaca
Jendela belakang kereta bandara

Beijing Scitech Outlet
Pusat perbelanjaan yang santai. Orang tidak banyak tergesa.

"Coba fotoin ya aku menghadap belakang"

Duduk santai mengamini angan

Membeli Apel di Pinggir Jalan
Keluargaku suka makan buah. Ketika dalam perjalanan menuju Ming Tomb, kami melihat penjual apel di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, kami meminta supir taksi untuk berhenti sejenak, kami mau beli apel yang besar-besar!

Meskipun terkendala bahasa, sorotan kamera dan izin untuk mengambil potret
dirinya melalui bahasa senyuman ternyata berhasil membuahkan senyum pula darinya

Apel merah, besar, segar

Taksi di Beijing sudah pakai Mazda 2. Oiya, ini bukan supirnya ya.

Ming Tomb
Ming Tomb, sesuai namanya, ini adalah kompleks peristirahatan terakhir Raja Ming. Tempat ini wajib kami kunjungi karena letaknya cukup dekat dengan tempat tinggal kami di Fuxue Road, Changping. Kompleks Ming Tomb ini luas sekali. Aku lebih suka menghabiskan waktu seharian di satu tempat yang luas dan banyak hal untuk dijelajahi, daripada seharian kesana-kemari tapi tak bisa secara utuh menikmati (baca: aku lebih suka jalan-jalan sendiri daripada ikut tur wisata).

Berfoto di depan gerbang supaya sah!

Ibuk dan topi bundar yang baru dibeli di pinggir jalan

Jalan, jalan, jalan. Jalan sejauhnya, cukup kaki jadi tumpuan.


Tidak bisa kubaca, tapi pasti ada harapan terukir di atasnya


Malam di Changping District
Tidak ada kedai kopi yang terjangkau pandangan, restoran cepat saji jadi pilihan.

Tanpa kopi tidak masalah, hanya ingin yang segar-segar

Kopi dingin yang hampir tandas



Bunga-Bunga
Bunga, segala jenis bunga, menjadi favorit ibuku.
Ia akan selalu mendekati rimbunan bunga dan mengabadikan dengan kamera gawainya.

Bunga, dan Bapak Ibuk yang selalu berbunga-bunga. Semoga.

Tongsis jangan sampai lupa!



Aku rasa, aku harus mengenal Diana lebih dalam. Karena beberapa memori yang aku rekam melaluinya belum sepenuhnya sempurna. Masih banyak gambar yang blur, terlalu banyak cahaya, atau terlalu gelap. Tapi, pembelaanku, memang bukan kapasitas Diana untuk bisa menghasilkan gambar yang sepenuhnya sempurna (atau hanya alibiku saja sebagai pemilik Diana pemula, hahaha).

Ya, saatnya membawa Diana berkelana lagi!


Keterangan:
Kamera : Lomo Diana Mini
Film : AgfaVista400
Cuci Scan : Soup n' Film