Halo.
Sudah hampir 2 tahun blog ini tidak terjamah. Sejujurnya, aku rindu menulis, dan hal terdekat yang mampu kuceritakan adalah kehidupanku sendiri. Aku melalui cukup banyak tahapan kehidupan yang akan kurumahkan di sini. Mungkin tidak semua, hanya hal-hal yang menurutku penting dan tentunya akan membawa kesan tersendiri ketika kubaca ulang di suatu hari nanti, di masa depan, sambil menyesap teh lavender wangi yang sedang kugandrungi saat ini. Entah, apakah lima tahun lagi aku akan tetap mengidolakan wangi teh lavender seperti sekarang?
Baiklah, akan kumulai cuplikan kisahku…
Perubahan.
…adalah hal yang lumrah dan pasti terjadi. Bahkan, katanya, yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Satu perubahan besar yang aku alami di rentang waktu ini adalah aku berpindah divisi di pekerjaanku. Pekerjaan di divisi baru ini menuntut banyak keahlian yang sebelumnya belum kumiliki dengan dinamika yang jauh lebih tinggi. Aku belajar sekaligus melakukan banyak sekali hal baru di sini, tentunya sangat menyenangkan sekaligus menantang. Sepertinya aku tidak perlu berpanjang lebar di sini, karena jika kujelaskan terlalu detail mungkin ada beberapa yang akan bersifat konfidensial.
Menemukan.
Setelah sekian perjalanan menjadi dan menemukan diriku sendiri (perjalanan ini tentunya tidak berakhir di sini), aku bertemu dengan seseorang yang juga telah melalui perjalanan hidup membangun dirinya. Pertemuan kami bermula melalui sebuah kebetulan, mungkin memang begitulah cara kami dipertemukan. Percakapan demi percakapan yang berujung pada pertemuan. Semua berjalan sangat sederhana, apa adanya. Kami menjadi diri kami sendiri, tanpa pretensi, tanpa ekspektasi. Akhirnya, kami bersepakat untuk terus bersama dan berkomitmen untuk menikah.
Tunggu dulu… Aku? Menikah? Yang benar saja?
Kembali ke beberapa tahun sebelumnya, di mana aku merasa tidak perlu menikah atau hidup bersama orang lain. Aku sangat yakin dengan kemampuan diriku untuk hidup sendiri. Jujur, selama ini aku tidak memahami apa esensi dan tujuan dari menikah, selain untuk jawaban yang Alkitabiah: untuk meneruskan keturunan. Dalam pemikiran praktisku, aku bisa hidup sendiri, menghidupi diri dengan bekerja (plus menabung dan investasi), kemudian jika aku merasa siap, aku mau mengadopsi dan membesarkan anak. Ketika aku pensiun dan anakku sudah pergi melanjutkan kehidupannya sendiri, aku akan mengadopsi seekor golden retriever yang penuh cinta untuk menemani hari-hari tuaku.
Aku tidak ingin menikah jika ternyata pernikahan itu akan meredupkan aspirasi yang ada di dalam diriku. Aku pun juga tidak ingin menjadi penghalang bagi pasanganku untuk mewujudkan aspirasinya. Aku tidak merasa bahwa menikah itu harus dilakukan, sampai akhirnya aku merasakannya sendiri.
Aku tidak memiliki ekspektasi apapun pada hari pertama menjalani hubungan dengan pasanganku dan hanya ingin menjalani hari-hari berikutnya dengan penuh. Waktu terus berlalu, ternyata aku mampu hidup berdampingan dengan orang lain, selama itu adalah orang yang tepat. Tepat, dalam artian, kami bisa saling berkomunikasi, mengutarakan aspirasi kami masing-masing dan membubuhkan toleransi jika memang diperlukan.
Jika ditanya mengapa aku mau menikah, aku memiliki jawaban yang kuyakini: Aku bisa menjadi diriku sendiri, pasanganku bisa menjadi dirinya sendiri, kami bisa hidup berdampingan untuk mencapai cita-cita pribadi dan bersama. Sederhananya, meminjam konsep yang sering dikatakan oleh pasanganku: berbagi dunia. Meskipun pada kenyataannya tidak sesederhana itu, tentunya kami masing-masing juga terus menumbuhkan empati dan belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan, masih banyak impian yang terus diusahakan.
Dan, kami pun mengikatnya dengan saling mengucap janji di Gereja.
Catatan: Tulisan ini kubuat 5 bulan dari awal pernikahan (dan akhirnya baru kurumahkan di blog ini pada bulan ketujuh). Aku menulis di atas meja kerja yang sering kami pakai bergantian ketika WFH. Di sebelah kanan meja, ada lemari baju dua pintu yang ternyata muat-muat saja dijejali pakaian kami berdua (meskipun tumpukannya cukup menggunung). Beruntung, kami cukup minimalis dan merasa tidak perlu memiliki begitu banyak baju sehingga belum perlu membeli 2 lemari. Beruntung juga kami memiliki visi yang sama di dalam mengelola baju kotor, kami tidak mau menghabiskan energi di situ dan lebih memilih laundry (kecuali untuk jersey sepeda di mana kami mencucinya sendiri). Di sebelah kiri meja, ada rak buku yang memuat koleksi buku kami berdua. Ada beberapa buku yang jumlahnya dua, menandakan bahwa aku dan dia sama-sama membeli buku itu di waktu kami masih masing-masing sendiri. Benang merahnya, buku itu datang dari penulis yang kami suka. Penulis yang menuliskan hal-hal dengan sederhana, penuh dengan latar kehidupan sehari-hari namun sarat emosi. Di lantai bawah, masih tersisa tahu goreng dan sedikit tumis pare jamur sisa makan malam kemarin. Masakan-masakan sederhana yang kami buat bersama — untungnya juga, lidah kami gampangan di dalam menerima rasa.
Kehilangan.
Pada satu akhir pekan di bulan Desember 2020, sebuah pesan singkat yang datang melalui WhatsApp Group mengacaukan hatiku:
"Telah berpulang ke rumah Bapa, Elizabeth Nunung Surini
…………………………………………………………………….
…………………………………………………………………….
……………………………………………………………………."
Kalimat-kalimat selanjutnya menjadi tidak begitu penting dan tidak juga terbaca karena mataku sudah dipenuhi genangan kehilangan.
Mbah Menuk, panggilanku kepadanya sehari-hari. Sosok yang selalu kurindukan dan pernah kutuliskan di tulisan ini. Simbah yang ikut dengan keluargaku sejak aku masih TK dan ikut kemanapun kami berpindah, dari Solo, Dumai, Tanjung Kait, hingga akhirnya Jakarta. Simbah yang dengan tangan gempalnya berhasil menyajikan masakan yang enak dan nyaman. Simbah yang giat bekerja demi mengirim beberapa ratus ribu untuk cucu-cucunya. Simbah yang sudah lama ditinggal suaminya (belum jelas juga aku bertanya mengapa, sepertinya dia dulu pernah bercerita ketika aku masih SD, sibuk memasang perekat sepatu bergambar Power Puff Girls yang kupakai — aku tidak mampu merekam semua yang ia ceritakan).
Aku perlu mencatat juga di sini bahwa pada masa ini sedang terjadi pandemi yang membuat kehidupan kami terisolasi. Semua aktivitas berkumpul di tempat umum dilarang, kegiatan misa harian pun ikut dipadamkan. Sudah setahun lebih sejak pandemi datang dan mengubah berbagai bentuk energi manusia, mungkin salah satunya energi Mbah Menuk.
Pada masa pensiunnya, ketika ia sudah tidak ikut bersama dengan keluargaku dan memilih tinggal sendiri di rumahnya, Mbah Menuk mendevosikan pagi harinya untuk mengikuti misa di Gereja. Pandemi membuatnya kehilangan rutinitas yang sudah mendaras di hatinya. Aku tidak yakin bahwa ia bisa menjadi penikmat alternatif misa melalui layar kaca, apakah Mbah Menuk punya smartphone yang bisa memutarkan itu untuknya? Atau, apakah ada tetangga Mbah Menuk yang bersedia meminjamkan smartphone kepadanya?
Lalu, hal apa yang menjadi pengganti kekosongan rutinitasnya? Apakah ia makin gemar memasak untuk dirinya sendiri? Apakah ia jadi menanam cabai di teras rumahnya yang kecil? Apakah ia tetap bangun, mandi, dan berjalan kaki ke Gereja untuk kemudian pulang lagi? Apakah salah satu dari cucu-cucunya ada yang sempat menanyakan kabarnya? Apakah ia jadi iseng minum es sirup lagi padahal ia tau tidak boleh mengonsumsi begitu banyak gula? Apakah ia masih mendoakanku?
Aku tidak tahu. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumahnya. Baru kini aku menyesal, menyadari bahwa kesempatan terakhirku bertemu dengannya adalah ketika secara tidak sengaja berpapasan dengannya ketika aku sedang berkunjung sebentar di Jogja. Ia sedang berjalan kaki dan aku melaluinya dari dalam mobilku. Aku tidak turun dan menyapanya karena pada saat itu ada keperluan lain yang menunggu. Aku terlalu sombong, merasa masih punya banyak waktu dan berpikir bahwa aku bisa menemuinya lagi di kemudian hari.
Nyatanya, yang kutemui kemudian adalah kabar kepulangannya.
Aku berharap bisa lebih bijak berjalan di garis waktu yang bukan milikku dan merayakan setiap peristiwa hidup di dalamnya dengan penuh, sesederhana turun dari mobil untuk menyapa Mbah Menuk, menanyakan bagaimana kabarnya dan di mana ia biasa membeli lempung untuk membuat masakan bunga pepayanya menjadi tidak pahit.
Memento mori.