Selama 21 tahun aku hidup, aku menyadari bahwa aku hanya benar-benar
mencintai seorang lelaki. Ia adalah lelaki miskin yang tinggal bersama orang tua
angkat yang menyayanginya. Pernah sekali aku menginap di rumah mereka yang
gelap dan pengap. Lantainya belum dilapis keramik, sehingga aku harus merelakan
kakiku menjadi hitam karenanya. Ada seekor anjing buduk hitam yang setia
berkeliaran disana, aku lupa siapa namanya. Mungkin Heli, Neli, Guguk, atau
siapalah itu.
Di halaman depan rumahnya yang sempit, terdapat kamar mandi dengan
tembok rendah yang memungkinkan siapa saja (dengan sedikit usaha) untuk bisa
mengintip ke dalam. Untungnya tidak ada mata keranjang yang berkeliaran ketika
aku sedang mandi. Jika ada pun, aku dengan sigap akan menenggelamkannya ke
dalam sumur yang berada di dalam kamar mandi, silahkan tidur nyenyak dengan
laba-laba dan sarangnya yang lengket! Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan
bagaimana masa kecil dan remajanya yang dihabiskan di rumah itu.
Kami sering terlibat dalam percakapan yang dalam, meskipun kami
sama-sama tidak mengakui betapa kami menyukai percakapan tersebut dan ingin
berlama-lama disana. Berbagi mimpi, masalah, harapan, dan ketakutan. Aku,
sebagai pendengar kisahnya yang setia, mampu menyortir episode favoritku yang
mungkin menjadi alasan mengapa ia pantas aku cintai.
I.
Ia terbiasa bahagia dengan cara yang sederhana; sesederhana bisa
memiliki majalah dengan kertas yang mengkilap dan berwarna dari pamannya, di
saat teman-teman seusianya masih berkutat dengan kertas koran yang jelek.
Kebahagiaan lain juga ia dapatkan ketika mendapati buku tulis bersampul kertas
kalender miliknya tertata rapih sehingga memudahkan ia belajar dan membaca
ulang catatannya. Bersama dengannya sejauh ini membuatku mampu bahagia pula
dengan cara yang sederhana, termasuk tertawa lepas melalui humor kacangan yang
ia sodorkan padaku atau menenggelamkan diri kepada buku kala sendiri.
II.
Ia cenayang. Ia mengetahui apa yang ada di pikiranku tanpa aku harus mengutarakannya
kencang-kencang. Ia lelaki yang tidak romantis, ia tidak pernah memberiku bunga
meskipun ia tahu bahwa aku sangat menyukainya. Namun, melalui perilaku
sederhanya dalam kehidupan sehari-hari, ia memenuhi checklist sebagai lelaki puitis versiku.
Berulang kali ia membacakan cerita kesukaanku, memberiku ucapan selamat
ulang tahun yang tulus, atau menafsirkan arti lukisan yang menggantung di
ruang tamu. Waktu itu lukisan penari Bali yang sering membuat bulu kudukku
berdiri karena aku merasa mata dari penari itu setia membuntutiku. Ke kiri, ke
kanan, mata itu terus menatapku tajam. Ia justru tertawa kencang dan berkata
bahwa lukisan itu seakan hidup karena ada jiwa dari si pelukis yang dituangkan
disitu. Aku pun mulai menikmati jiwa itu dan memaknai ruang perspektifku
sendiri. Aku membayangkan bahwa si pelukis mungkin saja memiliki ikatan dengan
penari itu namun entah bagaimana salah satu dari mereka harus menghilang
dimakan ilalang. Mungkin sang penari lah yang menghilang, sehingga pelukis
memutuskan untuk mengenangnya melalui goresan kuasnya.
Kami saling mengisi ruang perspektif masing-masing tanpa ada peran yang
salah dan yang benar. Kami tidak pernah bertengkar, karena kami selalu meyakini
bahwa semua hal di dunia ini adalah hal yang relatif dan multi perspektif. Banyak
orang yang mencemooh kami tidak punya pendirian karena kami begitu toleran pada
keadaan apapun dan siapapun! Masa bodoh. Inilah cara kami menjadi merdeka
dengan menjadi diri kami sendiri yang memahami tiap subjek dan objek dengan segala
relativitasnya.
III.
Ia menghargai perjuangan, karena ia sendiri melakukannya. Menyadari
bahwa ia harus berjuang untuk hidup, karena hidup tidak akan memberi emas pada
kepala yang cetek dan badan yang malas. Berbekalkan senjata yang dimilikinya
berupa bongkahan kemauan, ia belajar dengan banyak membaca dan mencatat. Sekali
waktu ia pernah menceritakan padaku bahagianya ia ketika diterima sebagai
mahasiswa Geografi di Universitas Indonesia melalui jalur PMDK. Aku ikut senang
bukan kepalang. Tapi toh kebahagiaannya tidak bertahan lama, karena ia keburu
dihujam kenyataan. Kuliah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, ditambah dengan
biaya yang harus dikeluaran untuk membayar kos dan lain-lainnya. Pupus sudah,
ia gagal menjadi mahasiswa UI yang pretensius. Diam-diam aku kecewa, dengan
diterimanya aku di Universitas Gadjah Mada, tentu aku menginginkan ia juga bisa
kuliah sama seperti aku.
Lalu bagaimana?
Ia pun memutuskan untuk menjadi tentara, dimana segalanya tidak
membutuhkan biaya alias gratis. Menjadi tentara merupakan jalan yang aman dan
menjanjikan. Setelah menempuh 4 tahun pendidikan, ia bisa langsung bekerja dan
mengabdi untuk negara. Nasib baik berpihak kepada yang pantas, ia pun
mendapatkannya: menjadi tentara di angkatan udara. Hal ini tidak diperolehnya
dengan mudah, karena ia harus melewati berbagai tes yang menguji mental dan
raga. Kini aku mengetahui kegunaan dari bambu-bambu yang dipasang di halaman
samping rumahnya yang ternyata biasa ia gunakan untuk latihan pull-up. Kegemarannya berenang yang
ternyata ia lakukan untuk melatih kekuatan paru-parunya. Tangannya yang kapalan
ketika bersalaman denganku yang ternyata disebabkan karena sering berlatih push up, sit up, dan back up di rumahnya yang berlantai
kasar. Kertas-kertas bergambar house,
tree, person yang ia tinggalkan di kamar sebagai latihan psikotestnya. Ia
juga memiliki kesukaan yang sama denganku yaitu lari. Pernah ia berlari sangat
jauh, melewati banyak sawah dan jalan raya, sampai pada titik ia masuk rumah
sakit karena dianggap overtraining.
IV.
Selama hidup bersama, ia tidak pernah menghardik atau mengecamku.
Sebaliknya, ia selalu menawarkanku solusi maupun jalan tengah yang lebih sering
menguntungkanku. Ia tidak pernah mendikte aku harus ini itu. Ia tidak pernah
merasa superior atas diriku. Ia juga tidak pernah melarangku melakukan hal
apapun yang ku mau. Aku merasa menjadi sepenuhnya merdeka dengan segala
kebebasan yang diberikannya. Suatu hari aku pernah bertanya mengapa ia
membiarkanku terus terbang, nyatanya ia selalu percaya bahwa:
"Anakmu, adalah bukan anakmu.
Mereka adalah anak zaman."
Maka ia membiarkanku terbang dan lepas mengikuti zaman.
Aku adalah anak zaman. Aku bisa menyeberangi zaman yang linear dimana ia
dan aku hidup. Jangan sekalipun memberiku larangan atau kecaman, karena aku
dididik oleh zaman untuk selalu berteriak keyakinan. Jangan pernah sekalipun
membuat posisiku menjadi superior atau inferior, karena aku adalah anak zaman!
Aku belajar oleh zaman bahwa pernah terjadi perjuangan kelas yang begitu sengit
dan dengki, maka aku pun akan berusaha menggeser posisiku kapan saja agar
menjadi setara. Jangan sekali-kali menunjukkan kesombongan, karena sama saja
kamu sedang mengumbar isi otakmu yang dungu. Kecuali, kamu menawarkan kebanggaan
atas prestasi atau hasil keringatmu, maka akan kuberikan nilai seratus. Jangan
tawarkan apapun yang fana, cukup saja kesediaan untuk mendengar dan bertahan.
Itu lebih sederhana dan bermakna, pasti aku akan lebih menghargainya. Karena
aku adalah anak zaman! Anak yang melihat kisah bahwa berlian bisa mencabik-cabik
tengkuk dan pembuluh darah seseorang hingga terjengkang.
Ia, dan aku
Raras this is soooo beautifully written... OMG :') I can see where you got that positivity and everything. This made me miss my late dad too. And made me remember again how beautiful it is to pour a deep thought in.... Bahasa Indonesia :') ❤️ Keep writing! *followed*
ReplyDeleteSherry from ♕ SheemaSherry ♕ blog (www.sheemasherry.com)
Wow we meet again on the blogsphere, thank you kak! Yes, terkadang merasa lebih jujur ketika menulis dengan bahasa Indonesia. Salam untuk Ayah! :)
DeleteLuar biasa sekali ayah raras, pantas aja pribadimu patut untuk dikagumi :)
ReplyDeleteIngin cari hunian untuk work from Bali? Bisa ke The Ambengan Tenten aja karena kami memiliki fasilitas lengkap dari Private Office, Swimming Pool, Yoga Studio, Gym dan masih banyak lagi fasilitas penunjang lainnya. Kami juga menyediakan apartemen di Bali untuk cara work from Bali (WFB) bagi Anda yang memiliki mobilitas tinggi dalam berbisnis.
ReplyDelete