Aku ingin liburan.
Keinginan untuk bisa menyapa dan merasakan sesuatu yang berbeda
mendorongku untuk pergi ke sini. Jarak yang tak seberapa jauh dari tempat
tinggalku di Yogyakarta menjadi satu kemudahan berarti. Aku tak mau rugi, aku
sengaja menyediakan waktu untuk ke sini.
Semua yang kulihat sama seperti apa yang aku ekspektasikan pada mulanya.
Mungkin sedikit buruk ketika baru pertama kali sampai. Suasana yang hampir sama
seperti tempat-tempat wisata alam-keluarga lainnya sempat membersitkan pikiran
buruk, wisata alam milik pemerintah yang umumnya ramai, jorok, dan tidak
nyaman. Selangkah dua langkah kakiku berjalan, pikiran buruk beranjak terbang.
Tidak banyak orang, hening, dan tenang. Aku senang, mengingat tujuan awalku
kesini untuk mencari ketenangan. Bosan bertemu banyak orang.
Terbiasa di kehidupan yang serba cepat dan penuh dinamika, lalu
dihadapkan pada fenomena besar yang seolah tampak diam. Dibalut pepohonan
rindang dan pasir bekas letupan pagi hari tadi di puncaknya, Merapi terlihat
tampan. Udara sejuk yang terus berhembus menambah kesenanganku. Aku tidak suka
panas dan keringat, tentunya.
Aku tidak terlalu pintar di dalam menafsirkan atau memaknai sesuatu
secara indah, namun aku melihat kesederhanaan, dengan apa adanya alam tetap
terlihat menawan. Tidak perlu berlomba-lomba atau menjadi bukan dirinya. Melihat
penjual jagung bakar atau anak kecil berumur 12 tahun tidak sekolah yang
menunggui toilet umum, aku sadar bahwa standar kebahagiaan kami berbeda, pun
dengan manusia lainnya. Aku banyak berkaca.
Kunjunganku kesini pun semakin menguatkan niatku untuk bisa sampai ke
puncaknya. Mungkin bukan Merapi, yang sebentar lagi akan menepati janji — meletus tiap empat tahun sekali. Semoga akhirnya
aku mendapatkan kesempatan itu.
Aku ingin menikmati alam lebih jauh lagi.
----
Lokasi: Ketep Pass, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Cerita yang menarik, bukan sekedar gambaran, tapi saya melihanya sebagai sejarah yg tulus diceritakan.
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir membaca :)
Delete