Ruang pertunjukan itu
berdinding tebal, ciri khas bangunan peninggalan Belanda yang kalau diguyur
banjir bandang pun tak akan tumbang. Di dalamnya, kursi-kursi permanen
menempatinya dengan setia bersamaan dengan debu halus yang menghinggapi
punggungnya. Ruang itu terbuka lebar bagi siapa saja yang menginginkan
kebebasan dan keindahan. Tari-tarian, dentingan harpa, dan berbagai sandiwara
pernah terjadi di panggung laga. Lautan penonton pernah menduduki
kursi-kursinya yang berdebu halus. Ribuan percakapan intens pernah terjadi
sebelum pertunjukan dimulai. Gumpalan imajinasi dan intepretasi pernah
mengudara disana, memanjakan siapa saja yang merindukannya.
Rabu pagi, ruangan yang luas
dan gelap itu digenangi sunyi. Puncak kegiatan biasanya ada di hari sabtu dan
minggu. Sisanya, ruangan itu lebih sering digunakan secara bebas oleh siapa
saja yang ingin sekedar berlatih atau duduk menyendiri. Memecah hening, Agnia
masuk dengan gemulai. Ditemani gadis kecil bernama Kirana yang selalu menjadi
penonton setianya, buah hatinya. Dengan perlahan mereka menuruni tangga
berlapis karpet merah, melentikkan tangan di setiap kursi yang dilewati,
memoles debu pada ujung jari.
Hari ini, Agnia siap menari. Kirana
berlari mencari tempat duduk ternyaman untuk menyaksikan ibunya berlaga seorang
diri. Agnia naik ke atas panggung, meletakkan tas rajut merah marunnya di pinggir
dan bersiap di tengah. Tidak sampai hitungan kelima, ia mulai menari, berputar
ke kanan dan kiri. Tubuhnya meliuk indah bersamaan dengan gerakan tangan dan
kaki tanpa pakem atau perhitungan berarti. Tidak ada lagu yang mengiringi,
karena ia lebih suka ditemani dengan sunyi. Dibiarkannya irama itu datang dari
hati. Di tengah tariannya, ia mulai bermain dengan ingatannya lima tahun yang
lalu, di tempat yang sama ia menari.
Lima tahun yang lalu. Masih
sadar ia akan gemuruh tepuk tangan yang ditujukan padanya. Masih menyala pula
bara api di jiwanya. Rupanya kenangan akan selalu tertancap disana. Menyeruak
bebas dimana saja, terutama jika seseorang kembali ke tempat dimana ia biasa
melakukannya. Agnia akan terus mengingat pertunjukan tarinya ketika ia berada
di rumah, pasar, kereta, dimana saja. Apalagi di panggung itu.
Di panggung itu, lima tahun
yang lalu, Agnia dan Tari menari bersama. Pertunjukan demi pertunjukan dilewati
bersama dengan Tari. Berdua saja mereka berlaga, karena pemilik sanggar pun
percaya bahwa mereka berdua adalah yang terbaik di antara semua. Gerakan tari
yang indah dan gemulai, siap memanjakan siapa saja yang melihatnya. Agnia
berarti api, dan ia tahu benar hal itu. Ia memperlakukan dirinya sama seperti
api. Makin senang ia ketika disulut ribuan energi, menjadikan baranya semakin
merah dan menyala. Tidak ada yang bisa memadamkan gairahnya untuk berlaga,
menari tanpa henti. Ia sadar bahwa menari adalah satu-satunya media yang dapat
membuat dirinya menjadi Agnia yang sepenuhnya.
Ketika mereka menari, tidak
ada satu pun kedipan mata penonton yang rela dilepaskan. Semua akan terfokus
melihat keindahan yang berada di hadapannya. Tarian yang indah tidak hanya
tercipta dari kelihaian sendiri, tapi tercipta pula dari interaksi dan
penyatuan energi. Interaksi senyuman dan tatapan penonton yang berbinar
menyulut semangat Agnia dan Tari dengan pesat. Tarian mereka berhasil
menyatukan frekuensi emosi dan rasa antara penari dan penonton. Penonton akan
merasakan apa yang dirasakan oleh penari, begitu pula sebaliknya. Tak
dibiarkannya satu gerakan pun luput dari irama keindahan yang diputar. Menari
berdua dengan Tari, membuat energinya terbumbung penuh, menyatu dan terikat
pekat. Saat itu, Agnia menyebut dirinya penari. Disitulah terjadi penyatuan
jiwanya menjadi utuh, menjadi seorang penari.
Tarian itu juga berhasil
menumbuhkan benih yang dianggap berbeda. Benih itu tumbuh sempurna. Namun
sayang, tidak ada manusia yang mengizinkan benih itu tumbuh dan berbunga di
kebunnya. Seberapa indah bunga itu tumbuh, seberapa sering matahari dan semesta
mengizinkannya untuk berfotosintesis ria, manusia tetap tidak mau mengakui
keindahannya. Keindahan itu dianggap aneh dan dapat merusak tatanan kebun yang
simetris. Agnia dan Tari tidak akan bersatu lagi di panggung tari. Benih itu
dipaksa untuk mati, diguyur hujan asam berhari-hari.
Agnia terus menari, meskipun
kini ia menari sendiri tanpa Tari. Jika manusia sering menyebutnya sebagai
pelarian tuntutan yang mengekang, Agnia lebih suka memaknainya sebagai proses
memanusiakan. Menjadi manusia dengan melakukan sesuatu yang ia suka di tengah
genting persilangan antara realita dan imajinasinya. Imajinasinya ingin
membentuk dirinya sebagai jiwa yang bebas tanpa ikatan. Menjadi Agnia yang
hidup dengan seratus persen kemauan yang datang dari diri, mengejar apa yang
disebutnya sebagai cita dan cinta murni tanpa intervensi orang lain. Agnia
ingin terus menari dan menyatu dengan Tari, sambil berteman dengan waktu yang
memberi mereka ruang. Namun realita dengan teguh menentang dunia imajinya.
Harapan dan wejangan terus menghimpit Agnia, menghantarkannya sampai ke proses
pernikahan. Pernikahan (yang dianggap) sempurna dengan Devara. Pernikahan yang
dikaruniai gadis kecil bernama Kirana, alasan satu-satunya mengapa Agnia harus
bertahan disana.
Hari ini, Agnia menari
sendiri. Tanpa seseorang yang menari bersamanya, tanpa Tari. Tanpa sorotan mata
penonton yang menyemangatinya, hanya disaksikan sorotan mata dari buah hatinya
yang tulus penuh cinta. Tawa dan tangis meledak bersama. Ia merindukan Tari, namun
ia juga memiliki Kirana. Maka Agnia menari, tarian merupakan satu-satunya
jalan dimana ia bisa merasakan kepenuhan jiwanya meskipun sekarang tarian itu
terasa semu. Ia kegirangan sekaligus kesakitan. Minggu depan aku akan datang
lagi, ujarnya dalam hati.
Agnia mencintai Tari, dan tari-tarian.
Ia akan terus menari, meski ia
tahu bahwa Tari tidak akan menari lagi.
No comments:
Post a Comment