Akra biasa melewati jalan itu. Jalan yang ia lalui setiap berangkat dan pulang kerja. Jalan yang mengingat pada pukul berapa Akra terburu-buru mengejar pagi dan perlahan kembali pada batas petang.
Jalanan yang berlubang. Badan ditindih beban yang terus menerus berdatangan, mengikis permukaan perlahan. Lubang-lubang membesar dan mendalam. Menyerap peluh supir-supir truk yang merindukan bau rumah, keringat istri dan anak yang baru pulang sekolah.
Hari mulai gemuruh.
Terbangun di pagi buta, bersiap menempuh jarak yang kurang lebih 116 kilometer jauhnya, Akra kembali melewati jalan. Ia hapal betul dengan karakter jalan yang dilaluinya. Ia tahu kapan harus bergeser ke kiri karena sedang ada pekerjaan jalan di sebelah kanan, kapan harus bergegas konstan di kecepatan 120, kapan harus memberi lampu peringatan kepada kendaraan yang ugal-ugalan, dan kapan harus menghindari lubang.
Payahnya, ternyata Akra tidak selalu mampu mengenali lubang-lubang itu. Seberapa sering ia melaluinya, sesering itu pula perubahan-perubahan terjadi. Ada lubang yang semakin mendalam, lubang yang menghilang—terkubur gundukan tanah sementara, dan lubang-lubang baru yang bermunculan.
Hari mulai gemuruh.
Akra melaju cepat, terseok di beberapa lubang yang tak ia kenali.
Lalu hujan. Tak terkecuali dari mata-mata yang lelah berkecimpung dengan ketakutan-ketakutan.
No comments:
Post a Comment