Agaknya, malam memang punya
ruang yang bisa melebar dan meluas sedemikian rupa ketika seseorang mencoba
bertahan sedikit lebih lama di dalamnya. Ruang tersembunyi untuk berhenti sejenak. Apapun alasanmu untuk
berhenti, malam selalu punya cara yang memperbolehkanmu berlama-lama disana.
Tangannya terbuka, siap memberi pelukan terhadap ceritamu yang kelam.
Apalagi ketika kamu
memutuskan untuk tidak terlelap malam itu (meskipun kamu suka bermain dengan
imajinasimu yang menggunung sebelum tertidur dan begitu menyukai mimpimu yang
penuh teka-teki). Kamu memutuskan untuk terjaga dan bermain bersama malam yang membuka matanya lebar-lebar. Kamu menjadi dirimu, meskipun tidak sepenuhnya utuh (ah…apakah malam
pernah menjadi utuh? Tidak ada yang tahu). Kamu membekali dirimu sedikit tawa
yang sepertinya tulus, ya? Atau aku salah sangka? Kamu kan memang suka membuat
dirimu menjadi bahagia, meskipun banyak orang yang sering meragukannya. Tawamu hangat, namun udara menyimpulkannya dingin.
Kamu tidak menguasai malam,
dan malam tidak menguasaimu pula. Malam mendengarmu. Kamu bercerita meskipun
tidak sepenuhnya. Malam tidak pernah bisa menjelaskan dirinya, pun dirimu.
Malam dan kamu hanya dua komponen yang bersinggungan, itu saja. Tidak ada yang tahu apakah kamu suatu saat menjadi mengenali malam lebih jauh, atau seberapa
jauh malam akan menerimamu untuk terus datang di ruang-ruangnya yang terbuka.
Malam dan kamu sama-sama menerka semesta.
Oh iya… Aku lupa menegaskan
bahwa malam bukanlah ia yang gelap, bukan lawan dari siang (yang selalu disebut-sebut anak sekolah dasar), bukan juga kelanjutan dari senja yang selalu
dielu-elukan manusia. Malam adalah pertemuan-pertemuan itu sendiri.
Jakarta, 9 April 2018
No comments:
Post a Comment