Membuka,
menyisir satu persatu siapa yang usai membaca barisan kalimat yang kutata.
Dengan bodohnya, aku selalu berharap kamu membaca di detik aku menanggalkan isi
pikiranku dengan tinta yang mengotori ujung jariku. Memang, bukan tulisan untukmu atau tentangmu, tapi aku selalu
berharap: kamu membacanya.
Aku
tidak pernah menulis untukmu, sebagaimana kamu tidak pernah menyelami kemurnian
yang ada di tiap-tiap ciptaan. Sebagaimana pertanyaan-pertanyaanku yang akan
terus mengambang, tentang manisnya isi bumi namun dengan manusia-manusia getir
yang tidak pula membangunkan dirimu. Memang, terkadang kita perlu mengubur diri
sendiri dalam-dalam, mengunyah kekhawatiran kita sendiri, perlahan. Oh, aku bahkan
tidak pernah mengenalimu ketika kita sedang berbicara.
Aku
tidak pernah menulis untukmu, sebagaimana kamu mencoba mematahkan keyakinan
yang tidak kamu yakini. Kebenaranmu selalu menjadi subjektivitas mutlak yang
kamu terapkan pada hal apapun. Manusia-manusia dengan beban peluh di punggung
mereka yang masing-masing berbeda tidak juga mematahkan tingginya kebenaranmu,
megahnya nilai-nilai maha segalamu. Kamu tidak pernah mempelajari relativitas
pilihan-pilihan yang aku nikmati sebagai bagian dari perayaan hidup, kamu
bahkan meludahinya. Aku masih menyimpan ludah itu di ujung sepatuku. Ia tidak
juga mengering setelah sekian waktu.
Aku
tidak pernah menulis untukmu, sebagaimana kamu tidak pernah memainkan dentingan
piano paling jujur untuk dirimu (apalagi untukku). Nada-nada dan nafas tidak
pernah memburumu untuk berbuat sesuatu. Entah, mungkin sekian persen darahmu
sudah membatu. Sampai akhirnya tidak pernah ada ingatan akan kita yang membaca
nada bersama, dengan aku yang menjadi diriku dan kamu yang menjadi dirimu.
Tidak pernah ada.
Setelah
sekian perjalanan melelahkan, aku berani menyimpulkan: usaha memberikan batasan
ketika puncak keinginan sudah berada di tangan.
Tangan-tangan
yang pernah menggamit lengan.
Kulihat,
tangan-tangan itu penuh.
(dan
tanganku kosong)
No comments:
Post a Comment