"Berhembus
angin malam, mencekam..."
Alunan nada lawas mengudara, merembes
melewati celah pengeras suara. Lagu lama lainnya ikut mengudara setelahnya,
mengantar penumpang bernostalgia ria. Akhirnya kesampaian juga naik
kereta. Sayangnya yang terlihat dari jendela tidak lain hanya pemandangan
hitam pekat. Sekalipun aku memicingkan mata dan menempelkan jidatku ke jendela,
lambaian pohon dan sawah yang membentang tidak serta merta menjadi hijau atau
warna-warni ceria. Pasti lebih menyenangkan jika perjalanan ini terjadi di
siang hari. Atau lebih spektakuler lagi ketika senja dengan matahari yang
merindu mendekati garis horizonnya di langit yang kemerahan.
Ah. Mengapa lama sekali. Kereta berhenti (lagi)
di antah berantah. Padahal sebelumnya kereta ini berhenti cukup lama di stasiun
kecil, cukup waktu bagi pedagang asongan untuk masuk dan menyerukan dagangannya
sopan. Teman di sebelahku mulai mengayunkan kepalanya sebelum mendaratkannya di
pundakku perlahan. Monas belum kelihatan.
---
Kuningan Barat.
Dua laki-laki berpakaian senada bersandar di
ruang sambung bus Transjakarta. Kemeja kantoran lengan panjang, celana kain,
menjinjing tas laptop berwarna gelap. Genggamannya erat, sigap menghadapi
lihainya tangan panjang yang merebut cepat.
Duduk di bangku prioritas, wanita paruh baya memangku
beberapa tas kresek hitam. Sawi hijau dan kacang panjang menyembul dari dalam.
Bergincu merah terang, bernyanyi kecil lalu terlelap. Celana hijau 3/4, sandal
spons kuning, serta kutex oranye yang menandai kuku tangan dan kaki. Wow.
Apakah semakin menua, selera mode seseorang akan menjadi lebih apa adanya? Seperti balita tanpa dosa
yang berlari memilih sepatu crocs kuning dipadu dengan rok pink terangnya, tidak
ada yang salah dari ketidakpaduan warna tersebut.
Jam makan siang sudah hampir habis. Banyak
buruh berseragam mulai tergesa. Pergerakan mata terbagi dua, jarum jam tangan dan jalan. Bagi penumpang lain dan aku yang belum
menerjunkan diri ke dunia sebenarnya, masa bodoh. Ini kan libur panjang.
Eh, sebenarnya aku juga sering tidak sengaja
menjadi buruh. Ketika aku hanya menyediakan waktu
di universitas, bukannya ide atau gagasan. Membiarkan (yang katanya) ilmuwan
menerangkan di depan tanpa saling bersahutan. Yang aku kerjakan hanya satu, spesifik,
dan berulang. Mungkin menyalin catatan atau terdiam dengan pikiran yang
melayang menyesap teh tarik dingin di siang terik. Membiarkan ide terkungkung
di sel terpintar dan tidak melepaskannya seperti serbuk bunga bermekaran yang
disambut kupu-kupu girang. Jangankan diberi upah, piutang universitas saja
tidak ku manfaatkan. Barangkali, selanjutnya aku harus lebih serakah?
Sementara di sebelah kiriku, wanita muda mengenakan
rok selutut dan kemeja putih polos. Wajahnya cukup menarik, paling tidak, dalam
posisi mata terpejam pun senyumnya masih mengambang. Ia tertidur dengan headset di telinga. Mungkin Sigur Rós atau
Adhitia Sofyan yang sedang bernyayi di sana. Atau siapa? Aku tidak punya playlist
tidur yang hebat.
Aku. Membaca halaman awal novel Pulang. Belum
melewati banyak halaman. Berhenti menyelami demo mahasiswa Paris 1968 yang
mempertemukan Dimas Suryo dan Vivianne Devereaux yang saling bertegur sapa karena
takut kelewatan halte.
Halte Semanggi. Harap-harap cemas. Ini
sekalinya aku pergi sendiri.
Naik tangga menyusuri jembatan penyebrangan
yang panjang dan berliku. Beberapa orang terlihat terburu-buru dan berjalan
cepat, meskipun belum melampaui khatamnya kaki-kaki Singaporean menggapai
eskalator yang bergerak seribu kali lebih cepat. Bersyukur mereka tidak lari. Tahu
sendiri aku paling takut berada di jembatan setinggi dan setipis ini. Dibuat
dari lapisan perak yang kalau diinjak akan berbunyi. Berdoa semoga tidak ada
lubang setitik pun agar aku tidak teriak.
Pikirku mengapa di Jogja belum ada jembatan
sehebat ini. Atau seperti layanan Transjakarta yang cukup bisa diandalkan. Kebutan
bus Transjogja sejenak melaju di pikiranku, merambah ke bagian lain yang ku benci. Ruang duduk maupun berdiri yang, astaga, sangat tidak
menyenangkan. Apa sulitnya mengganti tempat duduk di bus itu dengan yang lebih
ramping dan ringan, sehingga tercipta ruang yang lebih lengang. Bagaimana bisa
bergerak dan berdinamika bebas tak terhalang, jika tak ada ruang? Atau
setidaknya, kesempatan? Jangan
salahkan jika akhirnya para perindu ruang mencari medium lain yang mungkin
dapat mengganggu ketenangan jantung kotamu.
No comments:
Post a Comment