Aku memanggilnya Simbah. Sewaktu masih TK, aku sering mengintipnya dari daun
pintu ketika ia sedang menyetrika. Sampai aku kuliah pun, ia terus
menyetrika sambil berbicara apa saja. Dulu membangga-banggakan cucu pertamanya yang masih gadis. Belakangan ia suka membicarakan kelakuan anak-anaknya yang terkesan hanya ingin enaknya saja.
Di halaman belakang rumah yang
teduh, sesekali ia menunggu "anak-anaknya" datang. Siang hari berdiri disana dengan
segenggam beras di tangan. Menunggu burung-burung terbang
merendah, mematuk satu persatu beras atau
nasi sisa kemarin. Setelah kenyang, burung-burung pun
pergi. Keesokan hari mereka datang lagi, Simbah menanti.
Sesekali kulihat Simbah beristirahat di kamar
perseginya. Duduk di kasur menikmati air sirup
dingin di saat matahari menyengat dengan
semangat. Keluargaku jarang minum sirup, sehingga dapat dipastikan sirup di kulkas habis karenanya. Belakangan, setelah terdeteksi gula, Simbah menjadi penakut. Tak sekalipun kulihat ia minum sirup atau teh manis lagi.
Kamarnya dekat dengan dapur masak. Ia memasak apa saja disana. Masakannya enak semua! Bagaimana bisa bunga pepaya menjadi
tidak pahit dan berubah menjadi begitu lezat? Sampai rekan kerja Ibuku di kantor
ikut memesan sayur yang ajaib itu. Ah... Belum lagi tumis buncis dan daging cincang yang rasanya persis masakan ala restoran Red Bean.
Duduk di kursi pendek, sering aku menemuinya sedang
merenung. Ditemani untaian Rosario dan buku
Madah Bakti. Terkadang dengan secarik kertas Novena. Aku tak tahu siapa saja yang disebut dalam doanya. Yang pasti, ketika aku pulang menenteng rapor juara satu atau mendengar Bapakku yang diberi titah dinas ke luar negeri, ia ikut berbahagia. Sempat ia utarakan keinginannya untuk bisa tetap bersamaku sampai aku punya anak pertamaku (duh, memikirkan judul skripsi pun belum).
Di halaman belakang rumah yang
teduh. Suara batuknya mulai melengking
kencang. Badannya yang gemuk mulai sulit
digerakkan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk
pulang, menemui anak dan cucunya. Mengabiskan masa senjanya. Kami pun tidak mencari penggantinya.
Tempat tinggal kami kini berdekatan di Jogja, namun aku jarang mengunjunginya. Tak lain karena dengan sombongnya aku tak punya banyak waktu untuk kesana. Sepertinya ini lebih ke alibiku semata. Padahal Bapak menitipkan kacamata baca baru untuknya.
Pernah sekali aku bertandang ke rumahnya. Hanya butuh jalan kaki beberapa menit saja. Seperti biasa, ia banyak bercerita tentang apa saja. Namun kini dengan kondisi fisik yang jauh berbeda. Pergerakannya mulai terbatas, namun matanya masih menyiratkan harapan
muda. Semangat cinta yang terbatas oleh "takdir" menjadi tua. Bagaimanapun juga, aku rindu dengannya.
Aku juga rindu mbah ku yang kini sudah di surga. Bagus sekali post ini, ras :)
ReplyDeleteTerima kasih kak! Ini tulisan hasil kerinduan yang menumpuk.
Delete